PENDAHULUAN

Sidat merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting, permintaan ekspor sidat sangat tinggi terutama untuk Jepang dan Eropa. Sidat merupakan salah satu menu makanan yang sangat diminati karena bergizi tinggi, lezat dan dipercaya berkhasiat. Sidat memiliki sekitar 20 spesies, di Indonesia sendiri paling sedikit memiliki 9 jenis sidat yang tersebar di perairan daratan berbatasan dengan laut seperti sepanjang kawasan Pantai Barat Pulau Sumatera, Pantai Selatan Pulau Jawa (Palabuhanratu, Binuangeun, Ujung Genteng, Pameungpeuk, Cilacap), Bali, NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi hingga Papua.

Di Palabuhanratu sendiri terdapat dua (2) jenis sidat yaitu : Anguilla marmorata (sidat kembang) dan Anguilla bicolor-bicolor (sidat anjing). Sidat memiliki daur hidup yang kompleks yaitu sidat dewasanya hidup di perairan tawar seperti danau, rawa, persawahan dan sungai. Pemijahan sidat terjadi di laut, telur hasil pembuahan kemudian menetas di permukaan air laut terbawa arus air laut ke pantai. Larva ikan sidat banyak berkumpul di muara sungai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi air tawar dan pada usia dewasa ikan sidat kembali ke laut. Benih sidat atau disebut elver/glass eel tapi nama popular di Palabuhanratu disebut impun sidat, biasanya impun sidat ini bercampur baur dengan benih ikan lainnya dan berkumpul di muara sungai, jumlah impun sidat yang melimpah mendorong masyarakat sekitar untuk menangkapnya untuk yang dahulu diolah sebagai makanan ringan/lauk pauk yang konsumennya meliputi masyarakat domestik tetapi kini seiring kebutuhan ikan sidat dunia yang terus meningkat dan stock ikan sidat dunia semakin menipis, perilaku memanfaatkan impun sidat untuk konsumsi bergeser menjadi menangkap impun sidat untuk dijual hidup atau di budidaya.

Ikan sidat mempunyai siklus hidup reproduksi yang unik dan rumit, ikan sidat dewasa yang telah matang gonad akan bermigrasi ke laut dan berpijah di kedalaman laut lebih dari 400 meter. Setelah telur menetas, larva sidat (leptocephalus) yang berbentuk seperti pita transparan, akan terbawa oleh arus laut dan kembali ke perairan pantai. Sebelum memasuki perairan pantai, larva akan bermetamorfosa menjadi glass eel hingga berumur sekitar 5-7 bulan, glass eel akan terbawa oleh air pasang surut, memasuki perairan estuari, sungai dan berkembang menjadi elver. Sekitar 1-3 tahun, elver tumbuh dan berkembang menjadi sidat dewasa, setelah matang gonad akan kembali ke laut untuk berpijah. Semua jenis sidat berpijah hanya sekali dan kemudian mati. Durasi hidup ikan sidat mencapai 10-20 tahun, namun ini tergantung dari jenis dan lokasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, tentang larangan Pengeluaran benih idat dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Nomor PER.19/MEN/2012: Setiap orang perorangan atau korporasi dilarang mengeluarkan benih sidat (Anguilla spp) dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 150 (seratus lima puluh) gram per ekor dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia. Jadi ada batasan berat 150 gram, hal itu memungkinkan perkembangan pemeliharaan ikan sidat dalam negeri sampai ukuran 150 gram dan dapat dilepas ke pasar internasional untuk ukuran yang lebih besar.

Walaupun budidaya ikan sidat relatif mudah, rasio hidup sangat tinggi mencapai 75-90 persen, serta tahan terhadap penyakit, dengan tingkat produktivitas cukup tinggi (1 ton benih, dapat menghasilkan 5 ton ikan sidat). Namun pengembangan budidaya masih mengalami kendala karena sampai saat ini belum bisa dilakukan pemijahan buatan (karena siklus hidup yang rumit), persyaratkan pemijahan dilakukan di perairan laut dalam setelah benur lahir dan menjadi benih, kemudian anakan sidat akan berenang ke muara sungai. Jepang yang memiliki teknologi tinggi pun sampai saat ini belum bisa melakukan pemijahan buatan, sehingga kebutuhan benih untuk budidaya harus didatangkan dari alam.

Seperti komoditas hasil perairan lainnya, ikan sidat juga mempunyai nilai jual, yang angkanya melebihi komoditas hasil perairan lainnya. Di beberapa negara Asia, Eropa, maupun Amerika, olahan sidat dibandrol dengan harga yang fantastis (Roy, 2013). Sidat di Pelabuhan Ratu pada ukuran glass eel di dijual dengan harga hingga tiga juta rupiah per kilogramnya (Widyasari 2013). Harga jual ikan endemik dan kebanggaan masyarakat Indonesia yang tinggi ini menyebabkan banyak pihak mencarinya. Hal ini sebagai dampak dari terbatasnya stok terhadap kebutuhan.

Masalah muncul ketika semakin banyak negara-negara yang mengkonsumsi sidat, maka semakin menurun jumlah benih sidat akibat penangkapan glass eel di alam yang tidak terkendali dan semakin banyaknya jumlah indukan sidat di alam yang tidak terkendali dan terbatasnya jumlah indukan ikan sidat dewasa (Widyasari 2013). Produksi impun sidat yang hanya bisa terpenuhi melalui tangkapan alam menyebabkan munculnya kekhawatiran akan punahnya spesies ini. Penangkapan yang tidak terkendali mengancam kelestarianny, untuk menjaga kelestarian ikan sidat perlu adanya basis data yang di dalamnya mencakup peta potensi dan habitat ikan sidat di wilayah Kabupaten Sukabumi sehingga kedepannya dapat dibuat suatu strategi pengelolaan ikan sidat yang berkelanjutan.

Glass eel untuk saat ini belum dapat dibudidayakan secara mandiri sehingga ketersediaan masih sepenuhnya mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Jumlah tangkapan masih sangat terbatas dan tidak bisa memenuhi permintaan pasar, hal ini disebabkan sidat di alam bersifat musiman. Penangkapan sidat dapat dilakukan selama musim tetapi puncaknya pada bulan gelap dan hanya beberpa bulan saja dalam setahun. Kegiatan penangkapan sidat biasanya dilakukan di muara-muara sungai yang menghadap ke lautan atau samudra, seperti di Pantai Selatan Pulau Jawa, Pantai Timur Sumatera, dan pantai tenggara sulawesi. Daerah yang menjadi sumber sidat di Indonesia di antaranya Pelabuhan Ratu-Sukabumi, Segara Anakan-Cilacap, Padang, dan Poso. Selain di muara-muara sungai penangkapan sidat juga dilakukan di hulu-hulu sungai (Sasongko, dkk 2009).

Semakin meningkatnya kegiatan penangkapan sidat di Pelabuhan Ratu, dan lingkungan perairan di daerah penangkapan sidat namun data penangkapan sidat belum didata oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, hal ini dapat mempengaruhi stok ikan sidat di alam maka atas pertimbangan di atas dalam rangka mengelola perikanan sidat maka dilakukan kajian tentang “Habitasi ikan sidat (glass eel dan elver) di Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”. Diharapkan dari hasil kajian ini dapat menjadi sumber informasi dasar yang bermanfaat bagi pengelolaan perikanan sidat yang berkelanjutan di masa yang akan datang.

            BIOLOGI IKAN SIDAT

Berdasarkan hasil penelitian Widyasari (2013) ikan sidat di Indonesia dikenal dengan berbagai nama lokal, menurut bahasa daerah orang Betawi menyebutnya moa, Sulawesi; sogili, Sunda; lubang, Jawa; welus, Lampung; ikan pelus, Ambon dan Papua; massapi, menurut Kotellat et all (1993) dan Sarwono (1993) ada yang menyebutnya menguling, ikan uling, lumbon, larak, elus, gateng, embu, denong, laro dan ikan luncah.   Dalam bahasa Indonesia ikan ini disebut ikan sidat (Anguilla spp), sidat besar/big eels/big conger adalah nama lain dari sidat, unagi (Jepang dan Korea).

Sidat yang berasal dari Indonesia adalah salah satu yang banyak diburu untuk mengisi pasokan dunia. Indonesia memiliki potensi dan keragaman jenis ikan sidat yang tinggi, dari 19 spesies sidat di dunia 12 spesies diantaranya terdapat didaerah perairan Indonesia seperti pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Kottelat et al. 1993). Jenis Anguilla bicolour bicolor banyak dicari karena rasanya enak untuk dibuat ikan sidat panggang atau kabayaki yang merupakan budaya kuliner masyarakat Jepang (Widyasari 2013).

Sidat (ordo Anguilliformes) kelompok ikan ini berbentuk tubuh mirip ular, panjang dapat mencapai 50-125 cm, sirip punggung dan sirip dubur menyatu dengan sirip ekor, sisik sangat kecil yang terletak di dalam kulit, kepala lebih panjang dibandingkan jarak antara sirip punggung dengan anal. Sidat sekilas mirip dengan belut, namun tubuh sidat lebih memanjang dan memiliki kepala berbentuk segi tiga serta memiliki empat sirip dibagian dada yang sering disebut telinga, dubur, punggung dan ekor. Menurut Heape (1931) dalam Lucas & Baras (2001), ikan sidat memiliki sisik yang sangat halus dan tubuhnya ditutupi lendir.


                KONDISI FISIK DAN KONDISI BIOLOGIS PANTAI (JENIS BIOTA)

Fisiografi wilayah Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi kedalam empat zona yaitu zona Jakarta, Bogor, Bandung dan zona pegunungan selatan. Zona Jakarta meliputi pantai utara Jawa Barat mulai dari Serang hingga Cirebon, Zona Bogor meliputi pantai barat Pandeglang; Zona Bandung meliputi pantai barat Pandeglang ke arah selatan hingga Pantai Palabuhanratu (wilayah pegunungan Bayah); serta Zona pegunungan selatan meliputi semua pantai selatan Jawa Barat. Tipe pantai di wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi yang meliputi Pantai Karang Buleud di sebelah timur hingga di Muara Cibareno. Di sebelah Barat umumnya adalah pantai karang, pantai berbatu, dan pantai berpasir dengan panjang pantai 130,860 km.

Satuan morfologi penyusun pantai Sukabumi terdiri dari perbukitan dan dataran. Perbukitan merupakan ciri utama pantai selatan dengan pantai terjal dan perbukitan bergelombang dengan kemiringan mencapai 40% dan disusun oleh sedimen tua. Sedangkan satuan morfologi dataran berkembang di sekitar muara sungai dengan susunan terdiri atas pasir dan kerikil yang berasal dari endapan limpahan banjir.

Karakteristik umum oseanografi pantai selatan Jawa Barat, salah satunya perairan Teluk Palabuhanratu adalah bagian dari kondisi Samudera  Indonesia, dengan ciri berombak besar, batimetri laut dalam dan tinggi gelombang dapat mencapai lebih dari tiga meter. Keadaan arus pada perairan dipengaruhi oleh pasang surut, angin, densitas serta pengaruh masukan air dari muara sungai.

Arus pantai selatan Jawa pada bulan Februari sampai bulan Juni bergerak ke arah timur dan bulan Juli hingga Januari bergerak ke arah barat. Pada bulan Februari arus pantai mencapai 75 cm/detik kemudian melemah hingga kecepatan 50 cm/detik selama bulan April hingga Juni, Pada bulan Agustus arus pantai berganti arah ke barat dengan kecepatan 75 cm/detik kemudian menurun hingga kecepatan 50 cm/detik sampai bulan Oktober (PKSPL-IPB 2003c).

Salinitas di perairan Palabuhanratu berkisar antara 32,33-35,96‰ dengan tingkat tertinggi terjadi pada bulan Agustus, September dan Oktober, dan terendah terjadi bulan Mei, Juni dan Juli. Kisaran suhu pada perairan Palabuhanratu berkisar antara 27-30ºC. Tinggi gelombang di Palabuhanratu dapat berkisar antara 1-3 meter (PKSPLIPB 2000 2003c).

Kondisi kualitas air perairan laut di Kabupaten Sukabumi, tergolong bagus yang tercermin dari penampakan air yang bening dan kecerahan (cahaya matahari yang dapat menembus perairan mencapai 6-7 meter), meskipun demikian di beberapa muara sungai besar perairannya terlihat coklat terutama pada musim hujan (PKSPL-IPB 2003c).

Kondisi iklim tropis di wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi dipengaruhi oleh musim angin barat yang bertiup dari timur ke barat, dan musim angin timur yang bertiup dari barat ke timur. Musim angin barat bertiup dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan musim angin timur berlangsung antara bulan Juni sampai bulan September. Curah hujan tahunan di kawasan Palabuhanratu dan sekitarnya berkisar antara 2.500-3.500 mm/tahun dan hari hujan antara 110-170 hari/tahun (PKSPL-IPB 2003c).


KONDISI EKOLOGI

Adanya sistem akar yang padat, menyebabkan sedimen yang mengandung unsur hara terperangkap. Selain itu model perakaran ini juga menyebabkan gerakan air yang minimal pada ekosistem ini. Sehingga hewan pengurai (detritivor) memiliki aktivitas tinggi dengan jumlah yang banyak pada ekosistem ini. Detritus yang dimaksud disini adalah bakteri patogen seperti Shigella, Aeromonas dan Vibrio dimana bakteri ini dapat bertahan pada air mangrove walaupun tercemar bahan kimia berbahaya. Selain itu terdapat mikroorganisme lain yang dapat menguraikan molekul organik pada ekosistem mangrove. Mikroorganisme itu adalah fitoplankton dan zooplankton, dengan penjelasan sebagai berikut :

Fitoplankton adalah dari kelas Chlophyceae (alga hijau) dan Chrysophyceae (alga hijau kuning) yang termasuk didalamnya adalah diatom. Nybaken (1992) menyatakan jenis-jenis tumbuhan laut mikroskopis yang yang berlimpah diatas dataran berlumpur, adalah diatom. Dari hasil penelitian di ekosistem mangrove perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat pada bulan Maret 2006 tercatat komposisi marga fitoplankton berjumlah di 13 marga, yang terdiri dari 10 marga diatom dan 3 marga dinoflagellata, yang komposisinya didominasi oleh marga diatom (Thoha 2007). Salah satu jenis alga hijau kuning adalah Chyanobacterium, alga ini bersifat anoksik dan juga banyak melimpah di perairan. Romimohtaro dan Juwana (1999) menyatakan oleh kelimpahan organisme jenis ini karena adanya kandungan unsur hara yang berlebih dan ini sangat sesuai dengan kondisi ekosistem mangrove yang kaya unsur hara dan kecendrungan kandungan oksigen terlarut yang rendah.

Zooplankton adalah pemakan fitoplankton, Nybaken (1992) menyatakan pada estuaria, sekitar 50-60 % persen produksi bersih fitoplankton dimakan oleh zooplankton. Pada dasarnya hampir semua fauna akuatik muda yang terdapat pada ekosistem mangrove, dikategorikan sebagai zooplankton, (Setyawan dkk, 2002). Usia muda dari fauna akuatik (larva) sebagian besar berada di ekosistem mangrove dan larva dikategorikan sebagai zooplankton, karena termasuk fauna yang pergerakannya masih dipengaruhi oleh pergerakan air, sebagaimana pengertian dari plankton itu sendiri. Oleh karena itu juga Thoha (2007) mengkategorikan gastropoda, bivalva, telur ikan, dan larva ikan kedalam zooplankton. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa zooplankton dari Filum Protozoa, memakan bakteri dan fungi yang terdapat pada ekosistem mangrove. Selain itu taksa zooplankton yang sering dan banyak terdapat pada ekosistem mangrove adalah Copepoda. Ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan bahkan cakalang berprefensi sebagai pemangsa Copepoda dan larva Decapoda. Oleh karena itu, terdapat ikan penetap sementara pada ekosistem mangrove, yang cenderung hidup bergerombol dikarenakan kaitannya yang erat dengan adanya mangsa pangan pada ekosistem itu sendiri.

Biota yang paling banyak dijumpai dalam ekosistem mangrove Palabuhanratu adalah crustacea dan moluska. Kepiting, Uca sp dan berbagai spesies sesama umumnya dijumpai di hutan mangrove. Kepiting-kepiting dari famili Portunidae juga merupakan biota yang umum dijumpai. Kepiting-kepiting yang dapat dikonsumsi (Scylla serrata), udang raksasa air tawar (Macrobrachium rosenbergii) dan udang laut (Penaeus indicus, P. Merguiensis, P. Monodon, Metapenaeus brevicornis) yang terkenal termasuk produk mangrove yang bernilai ekonomis tinggi dan menjadi sumber mata pencaharian penduduk sekitar hutan mangrove. Semua spesies- spesies ini umumnya mempunyai dasar-dasar sejarah hidup yang sama yaitu menetaskan telurnya di ekosistem mangrove dan setelah mencapai dewasa melakukan migrasi ke laut. Ekosistem mangrove juga merupakan tempat memelihara anak- anak ikan. Migrasi biota ini berbeda-beda tergantung spesiesnya, seperti pada udang Penaeus dijumpai melimpah jumlahnya hingga kedalaman 50 meter sedangkan Metapenaeus paling melimpah dalam kisaran kedalaman 11-30 meter dan Parapenaeopsis terbatas hanya pada zona 5-20 meter.

Tumbuhan hijau adalah sumber energi utama dalam ekosistem mangrove, oleh karena itu tanaman mangrove itu sendiri dan fitoplankton yang hidup didalamnya ditempatkan pada posisi terbawah atau pertama dalam trofik jaring makanan. Selanjutnya bakteri dan fungi adalah organisme yang secara langsung menguraikan molekul organik pada ekosistem mangrove, maka dapat dikatakan organisme ini sebagai produsen utama dan ditempatkan pada tingkatan trofik kedua di dalam jaring makanan. Zooplankton, Molusca dan Crustacea berada pada tingkatan trofik ketiga.

Faktor utama yang mempengaruhi sumberdaya larva ikan sidat adalah adanya ketersediaan induk ikan sidat yang siap memijah. Induk sidat dapat memijah dan bertelur satu kali dalam siklus hidupnya, karena setelah bertelur induk akan mati kelelahan dan kehabisan energi akibat migrasi yang jauh. Telur ikan sidat setelah menetas menghasilkan lepthocephalus yang ditinggalkan tanpa perlindungan dari induknya. Untuk itu glass eel akan mencoba bertahan hidup sendiri di laut dan segera beruaya menuju muara sungai dengan bergerak pasif, karena kemampuan berenangnya yang masih rendah dan sangat terbatas, maka glass eel akan mencari daerah yang arusnya kecil seperti dipinggiran pantai dan muara, mengikuti arus pasang surut menuju ke hilir dan hulu sungai yang mudah diburu predator alam. Saat di laut glass eel harus tetap bertahan hidup untuk mengurangi resiko dimangsa predator yaitu dengan cara menyamarkan diri dilingkungannya, sehingga tidak terlihat oleh predator di lautan. Glass eel dengan tubuhnya yang pipih dan tipis serta transparan sekaligus aktivitasnya yang nokturnal atau beraktivitas dimalam hari, menjadi sulit dilihat oleh predator dan siap beruaya ke pesisir pantai dan muara sungai. Kemudian bermigrasi ke sepanjang daerah aliran yang airnya tawar hingga ke hulu sungai dan sekitar perairan umum. Setelah tumbuh di dalam air tawar pigmen berkembang, pada saat itu kondisi tubuhnya sudah lebih aktif bergerak dan dapat menyelamatkan diri saat ada predator.

Faktor ketersediaan makanan bagi larva sidat berupa kelimpahan klorofil a yang memicu pertumbuhan fitoplankton sebagai makanan ikan sidat khususnya pakan alami bagi leptochepalus hingga tumbuh menjadi glass eel dan elver. Demikian pula dengan faktor oceanography, seperti oksigen, suhu, alkalinitas dan pH serta faktor lain yang sesuai dengan kebutuhan ruang lingkup hidupnya. Jika ada faktor perubahan suhu permukaan laut, hal ini sangat terkait dengan rantai makanan yang diperlukan glass eel yaitu fitoplankton yang membutuhkan khlorofil a, dengan berkurangnya khlorofil a otomatis akan mengurangi kelimpahan plankton sebagai kebutuhan pakan glass eel selama ada di laut lepas hingga ke pesisir pantai menuju muara sungai.

Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra satelit di teluk Palabuhanratu dari tahun 2002- 2011 fluktuatif berkisar 0,4–1,95 mg/m3. Menurut Boetius dan Boetius (1989) suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi naiknya elver sidat ke muara sungai yaitu pada suhu yang lebih rendah. Liviawaty dan Afrianto (1998) menyatakan bahwa elver sidat mampu beradaptasi terhadap kisaran suhu air yang cukup besar yaitu antara 13–31oC dan dengan suhu optimal antara 25–28oC, sesuai dengan spesiesnya. Secara keseluruhan konsentrasi rata-rata klorofil-a di perairan Teluk Palabuhanratu termasuk dalam kelas tinggi/rich phytoplankton dengan nilai 0,52 mg/m3. Tingginya konsentrasi klorofil-a dapat menjadi indikator kualitas perairan yang baik karena menjadi tempat hidup dan berkembang baik bagi fitoplankton. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi disebabkan oleh nilai SPL rendah akibat meningkatnya curah hujan. Curah hujan tersebut akan membawa zat hara dari darat yang dialirkan oleh sungai dan menjadikan perairan subur. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi disekitar pesisir dan berangsur-angsur semakin menurun ke arah laut lepas. Tingginya konsentrasi klorofil-a disebabkan oleh adanya pengaruh arus aliran sungai. Menurut Nontji (2002) muara sungai banyak zat hara datang dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut, sedangkan di daerah upwelling zat hara yang kaya terangkat dari lapisan lebih dalam ke arah permukaan.


                JENIS SEBARAN EKOSISTEM

Hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi terdapat di sekitar Pangumbahan, Cikepuh. Jenis mangrove yang ditemukan adalah Rhizophora sp., Bruguiera sp., Sonneratia alba, Avicenia sp., Callophylum inophylum, Nypa fructicans, Baringtonia asiatica (PKSPLIPB 2003b).

Ekosistem rumput laut banyak terdapat di pantai Ujung Genteng, Kecamatan Surade, dimana masyarakat banyak memungut rumput laut itu untuk dijual, namun, di beberapa lokasi di pantai Teluk Palabuhanratu juga terdapat kelompok-kelompok ekosistem ini. Jenis rumput lautnya adalah Echeuma spinosum, Echeuma sp. Dan Gracilaria sp. (PKSPL-IPB 2003b). Beberapa tahun yang lalu didaerah pantai Loji ditanam rumput laut dan berhasil sukses bahkan mendapat apresiasi dari kementerian Perikanan dan Kelautan tetapi karena kualitas air yang terus menurun membuat produksi rumput lautnya semakin terpuruk.

Ekosistem terumbu karang di pesisir Sukabumi yang ditemukan di sekitar Ujung Genteng termasuk jenis karang tepi dengan kondisi yang umumnya sudah rusak dengan tutupan karang kurang dari 10%. Jenis karang antara lain karang otak dan karang meja. Sedangkan untuk wilayah Teluk Palabuhanratu sendiri belum banyak didapatkan informasi tentang keberadaan ekosistem terumbu karang, namun diduga beberapa jenis karang terdapat di dalamnya (PKSPL- IPB 2003b).


                     KONDISI SUMBERDAYA ALAM

Faktor perubahan iklim pada pergeseran musim hujan dan kemarau menjadi faktor utama penyebab menurunnya volume hasil tangkapan ini diakibatkan karena faktor alam yaitu perubahan suhu dan iklim yang sulit untuk dihindari. Tingginya curah hujan dengan intensitas yang relatif sering dan terjadi dalam kurun waktu yang lama mengakibatkan peningkatan jumlah air yang mengalir dari sungai menuju muara. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Sriati (1998) yang menyatakan bahwa semakin stabil dan meratanya curah hujan terutama yang berpengaruh terhadap sungai Cimandiri, maka rata-rata hasil tangkapan cenderung semakin meningkat karena pengaruh air tawar terhadap air laut semakin jauh. Selain itu curah hujan dapat menyebabkan kekeruhan perairan yang menjadi faktor penting migrasi elver karena elver mempunyai kemampuan untuk mendeteksi adanya air tawar dan akan mencari sumber air tawar tersebut.

Pembangunan infrastruktur mega proyek pelabuhan khusus batubara dan PLTU dalam memenuhi listrik Jawa dan Bali mulai dibagun pemerintah pusat sejak tahun 2007, hal ini merupakan salah satu yang menyumbang rusaknya kualitas air muara sungai sebagai salah satu terjadinya perubahan penurunan hasil tangkapan glass eel berdampak pada terhambatnya jalur ruaya glass eel. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan responden nelayan terhadap menurunnya volume hasil tangkapan terjadi pada periode tahun 2005-2009. Pembangunan infrastruktur tersebut yang dimulai dengan membangun breakwater tepat di sisi muara sungai Cimandiri, sehingga menyebabkan arus menuju muara sungai semakin deras dan menyebabkan kegiatan ruaya glass eel sidat menjadi terganggu tidak seperti biasanya sebelum ada pembangunan infrastruktur tersebut. Selain itu pemasangan tiang pancang di dasar laut untuk pembangunan PLTU menimbulkan getaran dan mempengaruhi lokasi ruayanya ikan sidat. Ikan sidat merupakan hewan nokturnal, perubahan lingkungan seperti meningkatnya intensitas cahaya pada jalur ruaya sidat dapat menurunkan jumlah glass eel yang beruaya memasuki muara sungai. Pembangunan breakwater di salah satu sisi muara secara teknis akan merubah aliran arus air dari pesisir pantai yang menghalangi arus air yang mengalir ke muara, begitu pula arah sebaliknya. Pergerakan ruaya glass eel yang berenang pasif mengikuti arus dan gelombang dari laut ke pesisir pantai menuju muara sungai kini terhalang breakwater tersebut. Selain itu menurunnya volume hasil tangkapan glass eel diduga disebabkan oleh meningkatnya aktivitas penangkapan ikan. Aktivitas penangkapan yang meningkat dapat dilihat dari meningkatnya jumlah nelayan yang beroperasi. Keberadaan glass eel yang semakin berkurang menyebabkan harga jual hasil tangkapan semakin tinggi di pasaran apalagi permintaan jumlah glass eel pun semakin meningkat setiap saat (Widyasari 2013).

FAO (2002) dalam Widyasari (2013) telah melaporkan adanya penurunan global hasil tangkapan sidat di alam, total hasil tangkapan sidat (ukuran dewasa) di alam pada tahun 1994 sebesar 18.600 ton menurun pada tahun 2000 mendekati 12.700 ton. Jumlah ini juga merefleksikan hasil tangkapan elver sebagai sumber benih yang terus mengalami penurunan. Dilaporkan pula jenis yang paling populer yaitu, elver Anguilla japonica juga telah mengalami penurunan drastis hasil tangkapan alam dari 140 ton (1965) menjadi 40 ton (2000). Beberapa sebab yang diungkapkan diantaranya adalah kombinasi berbagai efek yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, perkembangan fungsi sungai dan konstruksi bendungan / dam yang andil dalam memotong siklus ruaya di perairan tawar, serta banyaknya nelayan pada spesies dan lokasi tertentu.

Menurut hasil penelitian Widyasari (2013), bahwa kini daerah pesisir pantai teluk Palabuhanratu dan sepanjang perairan muara serta daerah aliran sungai Cimandiri kondisi lingkungannya semakin buruk, sangat kotor dan banyak sampah, baik itu sampah organik maupun anorganik. Sepanjang daerah aliran sungai mulai dari hulu sampai ke hilir hingga muara banyak membawa cemaran cairan limbah berbahaya mulai dari padatan dan cairan seperti pestisida, herbisida dan fungisida dari daerah pertanian, limbah domestik, perkembangan kawasan industri, dan meningkatnya kegiatan penambangan yang membuang limbah berbahayanya seperti logam berat dan lain sebagainya ke sungai. Pemakaian pestisida, herbisida dan fungisida, pada area persawahan menyebabkan arus air dari darat membawa bahan-bahan kimia menuju muara sungai. Menurut Effendi (2003) pestisida masuk ke badan air melalui limpasan dari daerah pertanian yang banyak menggunakan pestisida. Pestisida yang sering digunakan adalah insektisida (pembasmi insekta), herbisida (pembasmi rumput penganggu) dan fungisida (pembasmi jamur/kapang). Beberapa nelayan menyatakan apabila musim panen padi telah usai maka ketersediaan glass eel sidat akan muncul lagi. Sampah yang melimpah pun banyak secara fisik dapat merusak alat tangkap glass eel yang memiliki bahan jaring halus sehingga nelayan mendapat kendala pada kegiatan penangkapan. Hal ini yang menyebabkan glass eel kurang menyukai kondisi perairan muara sungai tersebut.

Kualitas air muara sungai Cimandiri dan air laut disekitar Pelabuhan khusus batubara pada tahun 2007 berada dibawah baku mutu yang berlaku sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pada tahun 2009 telah terjadi peningkatan konsentrasi pencemar bila dibandingkan dengan kualitas air pada tahun 2007. Penurunan kualitas air laut sekitar lokasi ini diakibatkan oleh kegiatan pematangan lahan, namun konsentrasi ini masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan (PT PLN 2010).

                    SOSIAL BUDIDAYA MASYARAKAT

Jumlah penduduk di Kabupaten Sukabumi dari tahun 2009 sampai dengan 2012 terjadi peningkatan yakni dari 2,29 juta jiwa menjadi 2,40 juta jiwa dengan jumlah laki-laki 1,16 juta jiwa pada 2009 menjadi 1,22 juta jiwa pada 2012. Sedangkan jumlah penduduk perempuan pada 2009 sejumlah 1,12 juta jiwa dan pada 2012 sebanyak 1,18 juta jiwa. Pada 2012 kepadatan jumlah penduduk mencapai 583 jiwa / km2. Rata-rata lama sekolah dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yakni semula pada 2009 sebsar 6,54 % menjadi 6,93 % pada 2012, hal serupa terjadi pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari 59,02 % pada 2010 menjadi 63,31 % pada 2012. 

Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Ibukota Propinsi Jawa Barat (Bandung) dan 119 km dari Ibukota Negara (Jakarta). Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 6o 57’ - 7o 25’ LS dan 106o49 - 107o00 BT dan mempunyai luas daerah 4.162 km2 atau 11,21 persen dari luas Jawa Barat atau 3,01 % dari luas Pulau Jawa, dengan batas-batas wilayahnya :

Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bogor, Sebelah Selatan , berbatasan dengan Samudra Indonesia,

Sebelah Barat , berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudra Indonesia, Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.

Selain itu secara administratif Kabupaten Sukabumi juga berbatasan secara langsung dengan wilayah Kota Sukabumi yang merupakan daerah kantong (enclave) dikelilingi beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Sukabumi, kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Sukabumi di sebelah Utara, Kecamatan Cisaat dan Kecamatan Gunung Guruh di sebelah Barat, Kecamatan Nyalindung di sebelah Selatan, Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Kebonpedes di sebelah Timur.


WILAYAH PENANGKAPAN IKAN SECARA TRADISIONAL

Berdasarkan data dinas perikanan Kabupaten Sukabumi lokasi potensial untuk wilayah penangkapan ikan tersebar di sepanjang pesisir Teluk Palabuhanratu. Daerah penangkapan meliputi laut di sekitar Sukabumi, laut Nusantara, dan laut Zona Ekonomi Eksklusif. Hasil produksi perikanan tangkap yang di daratkan di Sukabumi tidak hanya berasal dari perairan Sukabumi melainkan dari berbagai wilayah di Indonesia. Secara spesifik tempat pendaratan ikan yang berpeluang dikembangan di Sukabumi adalah : Ciemas, Surade, Palabuhanratu, dan Ciracap. Berdasarkan nilai hasil produksi tangkapan per Tempat Pendaratan Ikan (TPI), dan Palabuhanratu dari menduduki peringkat pertama yakni Rp. 2,18 milyar pada 1998. Adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dengan fasilitas lengkap menjadikan kapal penangkap ikan berkapasitas besar dapat mendaratkan hasil tangkapannya di Palabuhanratu, sehingga mampu menampung ikan hasil tangkapan nelayan baik dari sekitar maupun luar wilayah SukabumiUmumnya penduduk di wilayah pesisir Teluk Palabuhanratu memeluk agama Islam sebagai pandangan dan dasar hidupnya. Hal ini juga terlihat dari berbagai aktivitas keseharian masyarakatnya, berbagai kegiatan keagamaan juga sering dilakukan di wilayah ini, sehingga sedikit banyak menambah khasanah keanekaragaman aktivitas sumberdaya manusia Teluk Palabuhanratu.

Dalam kaitan antara pendidikan dengan aspek sosial budaya lainnya adalah terbentuk masyarakat yang lebih rasional dan cenderung mengabaikan beberapa aspek tradisi, hal ini terlihat dengan kurangnya atau bahkan hampir tidak terdapatnya kegiatan adat (bahkan kelembagaan adat) di wilayah studi berkenaan dengan pemanfaatan wilayah pesisir. Karena tampaknya pendidikan menjadi faktor ’pemutus tradisi’ dari generasi tua ke generasi selanjutnya. Tradisi dapat berarti banyak hal, secara umum dan awam demikian pula dari kalangan ilmuwan sosial progresif mengasosiasikan tradisi sebagai keterbelakangan serta kepercayaan-kepercayaan yang reaksional. Pada dasarnya dalam komunitas pesisir, ada dua macam masyarakat: pertama adalah masyarakat yang dijerat oleh tradisi dan kedua, masyarakat yang didasarkan pada pertimbangan rasional dalam mencapai pemuas kebutuhan dari berbagai kepentingan. Pada permulaannya ada tradisionalisme, yaitu keterkaitan pada apa yang dihasilkan oleh masa lalu. Adat istiadat yang diwariskan dilanjutkan pada kurun waktu berikutnya sekalipun fakta adalah bahwa adat istiadat itu tidak lagi mengandung arti yang asli.

Tradisi merupakan segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang, yang ditransmisikan adalah pola-pola atau citra (image) dari tingkah laku itu, termasuk di dalamnya kepercayaan, saran, aturan, anjuran serta larangan dalam menjalankan kembali pola- pola yang ada. Hal ini dapat dipahami dan beralasan apabila kita melihat realita keagamaan atau religiusitas sebagai suatu tradisi, dan upaya memahami salah satu sisi   dari dunia kehidupan orang pesisir, agama dan tradisi tidak dapat dipilih-pilih satu dari yang lain melainkan memandangnya sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Tradisi (dan juga agama) sangat mempengaruhi pola pengelolaan sumberdaya beserta adat istiadat dan kebiasaan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam (darat dan laut) secara tradisional dan yang diatur oleh lembaga sosial tradisional. Dengan berlakunya UU No. 22/1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 32/2004, terbuka lebih luas peluang bagi daerah guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara sinergis, mengatur dan perencanaan dalam menggali potensi sumberdaya yang ada, memanfaatkan dan mengontrol dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat agar terjamin keberlangsungan fungsi keseimbangan lingkungan. Dengan demikian, relatif tingginya partisipasi pendidikan merupakan salah satu modal tersendiri mengingat diperlukannya sumberdaya manusia yang handal untuk mengelola daerah, sebagai implikasi UU di atas dan di dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Masyarakat Teluk Palabuhanratu umumnya tidak begitu paham dengan upaya-upaya pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam, namun demikian umumnya masyarakat patuh terhadap peraturan yang secara tidak langsung mendukung upaya-upaya pelestarian sumberdaya alam, seperti penghormatan terhadap daerah-daerah yang dikonservasi. Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian sumberdaya alam dapat dilihat dari adanya upacara-upacara berupa pesta laut yang secara tidak langsung diyakini sebagai salah satu upaya untuk mendatangkan ikan, bahkan tetap lestarinya beberapa situs peninggalan sejarah masa lalu.

Rekomendasi :

Berdasarkan hasil kajian tentang “ Habitasi ikan sidat (glass eel dan elver) (Anguilla Spp) di Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”. Ikan sidat Indonesia (Anguilla Spp) sebagai salah satu komoditi hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting dengan peluang pasar yang terbuka, dari tahun ke tahun tingkat pemanfataannya cenderung semakin meningkat. Sebagai kegiatan usaha (ekonomi), upaya pemanfaatan sumberdaya ikan sidat Indonesia (Anguilla spp) bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, namun tanpa pengelolaan yang baik kegiatan usaha pemanfaatan sumberdaya ikan sidat ini akan mendorong pengerahan upaya pada tingkat yang berlebihan. Upaya pemanfaatan sumberdaya ikan sidat yang berlebihan, tidak hanya akan menimbulkan pemborosan secara ekonomi akibat kelebihan tangkap (over fishing) yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan daya pulih (renewable) dari sumberdaya, yang pada akhirnya mengancam kelestarian sumberdaya ikan sidat itu sendiri. Habitat dan sebaran benih ikan sidat alami tergantung pada sebaran induk, jenis-jenis benih alami yang banyak dijumpai antara lain, ikan sidat dari genus Anguilla meliputi: Anguilla ancentralis, A. bicolor  bicolor, A. celebensis, A. borneonsis, A. mossambica, A. marmorata (Mallawa 2006). Berdasarkan hasil kajian ini terdapat dua spesies yang sudah diidentifikasi dan banyak ditemukan di perairan Teluk Palabuhanratu yaitu Anguilla bicolor dan Anguilla marmorata.

Pengelolaan sumberdaya ikan sidat Indonesia khususnya dalam pemanfaatannya sebaiknya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, tentang larangan Pengeluaran benih sidat Indonesia (Anguilla Spp) dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Nomor PER.19/MEN/2012: Setiap orang perorangan atau korporasi dilarang mengeluarkan benih sidat Indonesia (Anguilla spp) dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 150 (seratus lima puluh) gram per ekor dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia.

77

 

Pemanfaatan sumberdaya ikan sidat Indonesia seperti glass eel dan elver yang ditangkap dari alam sebaiknya segera dibudidayakan sebagai persiapan pengadaan bahan baku industri pengolahan ikan sidat Indonesia sebagai “Kabayaki” untuk di ekspor. Pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan sidat Indonesia dengan diadakannya pembatasan ukuran tangkapan, seperti panjang dan berat, hal itu memungkinkan perkembangan pemeliharaan ikan sidat dalam negeri sampai ukuran yang sesuai permintaan industri pengolahan untuk ukuran yang lebih besar agar dapat memenuhi pasar internasional.

Pemulihan sumberdaya ikan sidat Indonesia dapat dilakukan dengan cara restocking seperti mengadakan pembatasan ukuran tangkapan dan waktu penangkapan serta konservasi terhadap sungai-sungai yang sesuai dengan karakteristik dan disukai ikan sidat sebagai tempat habitasi ikan sidat dari hilir, tengah sampai ke hulu sungai. Sedangkan pengawasannya dapat dituangkan dalam tindak lanjut di lapangan dengan berdasarkan satu peraturan kepala daerah dengan didukung oleh implementasinya berupa advokasi, sosialisasi dan tidak lanjut di lapangan yang dibantu oleh berbagai pihak seperti masyarakat, stakeholder dan pendukung lainnya. Bahkan perlu adanya sangsi yang tegas berupa teguran dan penghentian penangkapan ikan sidat dalam mengembangkan kegiatan usahanya sesuai dengan kesepakatan publik.

Selain itu perlu adanya upaya dalam menjamin keberlangsungan ikan sidat Indonesia demi menciptakan masyarakat sejahtera melalui pemanfaatan sumberdaya ikan sidat Indonesia secara arif, bijaksana dan berkelanjutan dengan didukung oleh adanya regulasi dari pemerintah atau penerapan kearifan lokal dalam hal pengendalian, mekanisme pengawasan, keterlibatan para pihak dalam pengawasan dan pengendalian, sampai dengan sanksi yang bisa diterapkan atas kesepakatan publik.

Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan adalah pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana sumberdaya ikan sidat Indonesia yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang, dimana aspek keberlanjutan harus meliputi aspek ekologi, sosial-ekonomi, masyarakat dan institusi. Pengelolaan sumberdaya ikan sidat Indonesia berkelanjutan tidak melarang aktifitas penangkapan yang bersifat ekonomi atau komersial, tetapi menganjurkan dengan persyaratan bahwa tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan perairan atau kemampuan pulih sumberdaya ikan sidat Indonesia. Apalagi mengingat populasi ikan sidat tropis seperti ikan sidat Indonesa yang termasuk kategori yang masih relatif stabil kondisinya, karena ikan sidat Laut Atlantik (Anguilla anguilla dan Anguilla rostrata) dan ikan sidat Laut Pasifik Anguilla japonica siap masuk daftar Convention on Internasional Trade in Endangerrd Species of Wild Fauna and Flora (CITIES), yang artinya tidak bisa lagi di eksploitasi karena jumlahnya yang tinggal sedikit.

Dengan demikian kebutuhan ikan sidat di dunia yang tetap tinggi seperti negara-negara Jepang, Eropa, Korea, China dan Hongkong serta Amerika yang selama ini mengkonsumsi ikan sidat spesies tersebut diatas berkompetisi untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhannya dari ikan sidat Indonesia (Anguilla Spp). Permintaan ekspor yang tinggi tersebut dapat memicu eksploitasi ikan sidat Indonesia yang berlebihan di berbagai wilayan sebaran ikan sidat Indonesia khususnya di Palabuhanratu Kabupaten sukabumi jika tidak dikontrol dengan baik dan bijak. Apabila penangkapannya masih seperti yang kini berlangsung kemungkinannya dalam waktu tidak lama populasi alamiah ikan sidat tropis Indonesia akan mengalami penurunan yang cepat. Untuk itu harus segera dibuat peraturan yang lebih ketat khususnya ditingkat regional dan lokal supaya dapat diterapkan. Selain itu perlu segera dikembangkannya teknologi budidaya ikan sidat Indonesia agar dapat mengimbangi yang ada di alam sesuai kebutuhan dunia.

Fakta-fakta Ikan Sidat:

1. Ikan sidat merupakan ikan air tawar tumbuh kembang besarnya dan apabila berkembang biak sidat melakukannya di air laut

2. Ikan sidat tergolong dalam famili Cyprinidae atau monogenetic, yaitu ikan yang berbisa dan memiliki sifat migrasi.

3. Ikan sidat tumbuh di daerah subtropis dan tropis, terutama di seluruh sumur dan sungai di Asia.

4. Ikan sidat sangat mudah ditemukan di pasar sebagai makanan, dan juga memiliki nilai ekonomi tinggi.

5. Ikan sidat sangat sensitif terhadap suhu air, jadi kadar oksigen harus tinggi untuk pemeliharaannya atau budidayanya.

6. Ikan sidat juga merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki reproduction biologi yang unik dengan menggunakan oviparous.

7. Umpan yang digunakan untuk menangkap ikan sidat meliputi daun, ikan kecil, dan juga hirisan buah-buahan.

8. Ikan sidat memiliki rasio protein dan lemak yang tinggi, sehingga mereka menjadi makanan yang sehat untuk dikonsumsi.

9. Ikan sidat yang ada di Indonesia sebagian besar tergolong dalam genus Oryzias, dan terdiri dari 6 spesies: Oryzias celebensis, O. melastigma, O. mekongensis, O. latipes, O. malaiensis, dan O. minutillus. Mereka hidup di berbagai habitat air tawar, seperti danau, sungai, dan sumur, yang tersebar di seluruh pulau-pulau di Indonesia.

10. Ikan sidat mengandung berbagai mineral, seperti kalium, fosfor, magnesium, seng, dan zat besi. Ikan ini juga mengandung lemak omega-3 yang tinggi dan protein.

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.