Danau atau waduk di Indonesia luasnya kurang lebih 2.1 juta ha, merupakan lahan potensial untuk pengembangan budidaya ikan dalam karamba jaring apung (Kartamihardja, 1998). Waduk merupakan danau buatan (man made lake), dibangun dengan membendung aliran sungai. Waduk Saguling, Cirata, dan Juanda merupakan hasil proses membendung Sungai Citarum, sedangkan Waduk Darma di Kuningan berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisanggarung. Keempat waduk tersebut cukup dikenal di Jawa Barat bahkan di tanah air. Berbagai fungsi yang diemban di antaranya sebagai pembangkit tenaga listrik, sumber bahan air baku, irigasi, pengendali banjir, tempat rekreasi, dan ajang bisnis perikanan.
Budidaya ikan dalam KJA merupakan usaha perikanan yang dapat dikembangkan secara intensif, dengan pemberian pakan tambahan (umumnya pakan buatan). Pemberian pakan tambahan dalam budidaya KJA menyebabkan akumulasi limbah organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan dan sisa ekskresi. Akibatnya terjadi pemberian pakan berlebih (over feeding).Sisa pakan yang tidak termakan dan ekskresi yang terbuang ke badan air memberi sumbangan bahan organik, yang mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan ikan budidaya. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa perikanan budidaya intensif dan pengkayaan nutrien berdampak potensial pada perubahan kualitas air (Philips et al., 1993; Boyd, 1999). Mc Donad et al., (1996) menyatakan bahwa 30% dari jumlah pakan yang diberikan tertinggal sebagai pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Ini berarti jumlah yang cukup besar masuk ke badan air. Selanjutnya Barg (1992) menyatakan partikel bahan organik akan mengendap disekitar lokasi KJA jika kecepatan pengendapan partikel jauh lebih besar dari pada kecepatan arus.
Fosfor merupakan unsur hara esensial yang diperlukan bagi kelangsungan kehidupan akuatik. Sumber fosfor yang masuk ke dalam perairan adalah limbah domestik, limbah industri, air limpasan dari lahan pertanian yang dipupuk fosfat. Baku mutu harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kemungkinan perubahan masukan P-anorganik dari sumber-sumber buangan limbah.  Selain memperhatikan konsentrasi P-anorganik dalam air, perlu mendeskripsikan kondisi lingkungan yang ada untuk memperkirakan total masukan fosfat ke dalam sumberdaya air.
Pada dasarnya perairan waduk selalu mengalami perubahan, baik harian, bulanan, musiman, maupun jangka panjang yaitu terjadi perubahan dari fase oligotrofik (waduk baru) menuju fase eutrofik (waduk relatif lama). Perubahan terjadi karena adanya faktor dari dalam maupun dari luar. Faktor dari dalam (autochthonous) dapat berupa sedimen di dasar perairan yang melepaskan unsur tertentu ke dalam air. Pelepasan unsur itu ditentukan antara lain oleh reaksi air yang berdekatan dengan sedimen dan kandungan oksigen terlarut. Sementara faktor dari luar (allochtonous) yakni berupa masukan senyawa air limbah yang dibawa oleh aliran sungai, termasuk padatan tersuspensi dari proses erosi tanah daerah aliran sungai selain juga adanya pemanfaatan waduk untuk budi daya ikan berupa keramba jaring apung (KJA).
Untuk mengestimasi daya dukung perairan terhadap jumlah KJA yang diperkenankan, didasarkan pada prinsip banyaknya limbah KJA yang menghasilkan unsur hara P dan N yang tidak merangsang pertumbuhan fitoplankton dan mampu mencegah terjadinya eutrofikasi. Asumsi yang sering digunakan para pakar di antaranya daya dukung perairan (carrying capasity), dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih parah karena limbah organik yang bulky akibat ketidakefisienan pakan yang diberikan dapat menumpuk di dasar perairan.
Melalui proses dekomposisi yang berlanjut pada akhirnya secara fisik, perairan waduk akan menjadi hijau pekat berlendir menjijikkan kadang berubah menjadi hitam kecokelat-cokelatan. Hasil penelitian berbagai kelembagaan riset menyebutkan bahwa KJA telah memberikan andil dalam memperkaya nutrien perairan waduk. Bahkan, dapat dikatakan sebagai sumber nitrogen dan fosfat yang akan mempercepat proses eutrofikasi.
Selain memiliki beberapa nilai positif, keberadaan KJA-jika berkembang tanpa kemampuan daya dukung waduk (carrying capacity)-dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih parah karena limbah organik yang bulky (banyak) akibat ketidakefisienan pakan yang diberikan, bisa menumpuk di dasar perairan. Melalui proses dekomposisi, akhirnya secara fisik perairan waduk akan menjadi hijau pekat, berlendir, dan menjijikkan sewaktu mendapat sinar matahari, sedangkan pada saat tidak mendapat sinar matahari berubah menjadi hitam kecoklat-coklatan. Bom waktu
Hasil penelitian Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran menyebutkan bahwa KJA telah memberikan andil dalam memperkaya nutrien perairan waduk. Bahkan, dapat dikatakan sebagai sumber nitrogen dan fosfat yang akan mempercepat proses eutrofikasi.
Daya dukung perairan adalah kemampuan perairan dalam menerima, mengencerkan dan mengasimilasi beban tanpa menyebabkan perubahan kualitas air atau pencemaran. Di lingkungan waduk, daya dukung ditentukan oleh keberadaan oksigen terlarut (DO) di epilimnion dan hipolimnion. Oksigen di lapisan epilimnion sangat dinamik, ditentukan oleh aerasi dan fotosintesis; sedangkan di hipolimnion oksigen merupakan cadangan yang tersedia saat terjadi umbalan, dan dimanfaatkan pada waktu periode stagnasi. Karena cadangan oksigen yang terbatas, maka beban bahan organik yang masuk harus dibatasi sesuai dengan ketersediaan oksigen di perairan. Apabila beban melampaui ketersediaan cadangan oksigen, akan terjadi deplesi, lalu defisit dan menyebabkan pencemaran. Hal ini dapat dilihat dari adanya gas-gas toksik. Defisit oksigen di hipolimnion diduga adalah penyebab kematian ikan saat terjadi umbalan di waduk Ir. H. Juanda. Sehubungan dengan hal itu, perlu dikaji pola distribusi keberadaan oksigen terlarut dan bahan organik, serta keterkaitan antara beban bahan organik dan cadangan oksigen, untuk dijadikan dasar penentuan tingkat beban yang masih aman di perairan.
Budidaya ikan dalam KJA akan memberikan buangan berupa pakan yang tidak termakan dan feses ke badan air. Semakin banyak KJA yang beroperasi akan semakin banyak limbah yang masuk ke perairan. Pertumbuhan ikan ditentukan oleh proses metabolisme bioenergi dalam memanfaatkan pakan. Efisiensi pemanfaatan pakan di KJA ditentukan oleh ikan dan tingkat pemberian pakan. Pemberian pakan yg berlebih akan menimbulkan dampak lanjut ke perairan berupa kotoran dan sisa pakan. Resiko terjadinya dampak tersebut ditentukan oleh: pola distribusi spasial dan temporal oksigen dan tingkat beban bahan organik serta cadangan oksigen yang tersedia.
Pada lapisan permukaan perairan terdapat (a) proses pembentukan biomassa dalam karamba, dan kotoran (ekskresi & feses) serta sisa pakan; (b) proses pembentukan, melalui fotosintesa, memanfaatkan unsur hara menjadi biomassa fitopankton+oksigen. Oksigen yang dihasilkan merambah ke lapisan lebih dalam secara difusi dan adveksi menjadi cadangan oksigen.
Di lapisan tengah terjadi proses mineralisasi sisa pakan/ kotoran ;membebaskan unsur hara. N, P, K, Si dengan memanfaatkan oksigen (DO), akibatnya cadangan DO berkurang, diindikasikan dengan adanya ODR (OxygenDepletion Rate) atau HODR (Hypolimnion Oxygen Depletion Rate). ODR semakin tajam, perairan menjadi anaerob akibatnya keseimbangan DO menjadi defisit.
Di lapisan bawah atau dasar perairan, menampung akumulasi sisa pakan/kotoran ikan serta produk dekomposisi sisa pakan seperti : CO2, H2S, NH3, CH4 pada kondisi anaerob. Konsekuensi dari dekomposisi ini peningkatan unsur hara khususnya fosfat (apabila kondisi sedimen atau dasar reduktif akan menyebabkan pelepasan P ke kolom air). Peningkatan unsur hara (N, P, Si) tersebut potensial menunjang perkembangan fitoplankton (bloom), yang di dominasi oleh kelompok cyanophyceae Mycrocytis sp. Perkembangan fitoplankton tersebut akhirnya mengganggu keseimbangan DO di perairan.
Pengkayaan bahan organik di sedimen akan menstimulasi aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga menimbulkan deoksigenasi pada subtrat dan kolom air diatasnya. Akibatnya akan menambah kedalaman lapisan reduktif atau mengurangi lapisan oksik di perairan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan biota di KJA karena oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan. Stadia kritis terjadi jika jumlah oksigen di hipolimnion tidak cukup untuk proses degradasi bahan organik, baik allochtonous atau autochtonous.
Eutrofikasi didefinisikan sebagai pengayaan air dengan nutrien/unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya peningkatan produktifitas primer perairan. Nutrien yang dimaksud adalah nitrogen fosfor.Pada sebagian besar danau, fosfor menjadi faktor pembatas karena keberadaannya yang relatif sedikit dibandingkan dengan banyaknya organisme akuatik yang memerlukannya. Peningkatan kadar fosfor akan mengakibatkan peningkatan produktivitas perairan

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.